Langsung ke konten utama

Cendekiawan Muslim : Islamisasi Ilmu di Era Digital Menuju Indonesia Emas 2045


Cendekiawan Muslim : Islamisasi Ilmu di Era Digital Menuju Indonesia Emas 2045
Choirun Nisa



             Usia kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 2045 akan memasuki usia 100 tahun. Usia 100 tahun, bukanlah hal mudah bagi sebuah bangsa. Semakin banyak tantangan dari berbagai aspek kehidupan yang harus dihadapi. Sebagai salah satu langkah awalnya pemerintah telah merancang visi menuju Indonesia Emas 2045 untuk menghadapi berbagai tantangan kedepan. Salah satunya, dependency ratio Indonesia pada tahun 2045 akan mengalami peningkatan. Dependency ratio merupakan perbandingan antara banyaknya penduduk usia produktif dengan penduduk usia yang non produktif. Pada tahun 2045 nilai dependency ratio di Indonesia sebesar 50,1[1]. Hal ini mengindikasikan bahwa beban ekonomi yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif di Indonesia sangat berat yakni setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 50 penduduk usia non produktif. Selain itu, jumlah penduduk usia produktif di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara[2]. Kedua kondisi ini menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi. Indonesia harus mempersiapkan generasi mudanya supaya siap menghadapi kondisi tersebut dengan baik, sehingga generasi emas menjadi tangguh dan berfikir maju serta selalu memegang teguh nilai-nilai Pancasila[3].
Salah satu visi Indonesia Emas 2045 yakni pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) serta penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi kreatif dan digital kelas dunia, peningkatan kompetensi SDM yang kreatif[4]. Selaras dengan adanya revolusi industri 4.0 yang sebenarnya sudah mulai dirasakan pada tahun 2011, ditandai dengan mudahnya berkomunikasi dengan teman antar pulau bahkan antar negara, berbelanja via online, pemesanan tiket cukup dari rumah dan pesan makanan dari kamar kos. Revolusi industri 4.0 ditandai dengan bertumbuhnya trend di bidang digital, seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Big Data, dan teknologi Cloud Computing. Seperti halnya dengan tenaga uap, listrik, dan komputer pada revolusi industri yang telah lalu, revolusi industri 4.0 ini dapat mengubah industri di masa depan menjadi industri yang lebih cerdas melalui digitalisasi teknologi dan ilmu pengetahuan. Secara global era digitalisasi akan menghilangkan sekitar 1 – 1,5 miliar pekerjaan sepanjang tahun 2015-2025 karena digantikannya posisi manusia dengan mesin otomatis[5]. Era baru industrilisasi digital ini juga perlu diperhatikan karena ada beberapa ancaman dan peluang yang harus dimaksimalkan.
Generasi muda harus melakukan kolaborasi antara dunia industri, akademisi, dan masyarakat untuk mengidentifikasi permintaan dan ketersediaan skill bagi era digital untuk memaksimalkan peluang di masa depan. Sebab, revolusi industri 4.0 akan memunculkan pasar baru yang akan membutuhkan keterampilan baru untuk pekerjaan di masa depan. Robot pintar, teknologi digital akan mengambil alih beberapa pekerjaan dan pekerjaan yang sebelumnya tidak ada akan muncul dan banyak dibutuhkan. Sehingga, generasi muda penting untuk meng-upgrade skill untuk bertahan di era digital ini sekaligus mendorong terwujudnya Indonesia Emas 2045. Terdapat 10 skill yang dibutuhkan antara lain kemampuan untuk menyikapi masalah dan menemukan solusinya; kemampuan berpikir kritis; kreatif; mengelola SDM; kerja tim; kecerdasan emosional; mengambil keputusan dengan cepat dan tepat; memiliki rasa empati dan kooperatif dalam bekerja; keahlian negosiasi  dan kemampuan fleksibilitas kognitif[6].
Pemerintah juga harus ikut andil untuk berupaya maksimal dan lebih gencar memberi pemahaman kepada semua elemen masyarakat tentang tantangan dan peluang di era digital yang berpotensi besar mengubah tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Masyarakat ialah sekumpulan individu, maka dimulai dari peningkatan kualitas individu pula untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkualitas. Hal ini sekaligus menjadi salah satu langkah untuk mewujudkan visi Indonesia emas 2045 yakni peningkatan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK serta sesuai dengan kondisi demografi pada tahun 2045, maka sudah seharusnya semua pihak mempersiapkan generasi emas dari sekarang.
Generasi emas 2045 yang merupakan harapan masa depan bangsa Indonesia yakni generasi muda dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual. Salah satu sarana penting untuk mempersiapkan generasi emas yaitu melalui pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah proses penanaman ilmu pada manusia, untuk menjadi sesuatu yang diinginkan. Kemajuan suatu bangsa dibentuk dan dimulai dari proses pendidikan yang baik untuk mencetak SDM berkualitas. Maka, pendidikan tidak cukup hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanmkan nilai-nilai kebaikan pada diri manusia. Inti dari pendidikan itu sendiri adalah pembetukan watak dan akhlak yang mulia. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus terlebih dahulu dilandasi pertimbangan nilai ajaran agama[7].
Islam memandang ilmu sebagai sebuah sarana yang sangat penting untuk mengenal dan mengetahui al-haqq (kebenaran). Inilah mengapa terdapat lebih banyak penjelasan tentang hakikat ilmu di dalam Islam melebihi apa yang ada dalam agama, kebudayaan, dan peradaban selainnya[8]. Dalam Al-Qur’an memuat berulang kali kata ilmu dan derivasinya yang menempati posisi kedua setelah kata tauhid. Tidak hanya itu, dalam Shahih Bukhārī, bab ilmu (kitāb al-‘ilm) juga diletakkan bersandingan dengan bab iman (kitāb al-īman). Sebuah penjelasan bahwa dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah konsep ilmu (‘ilm) menjadi konsep terpenting dan komprehensif setelah iman[9]. Telah dijelaskan dan ditegaskan pula cara pandang Islam terkait sebuah ilmu pengetahuan pada sebuah hadist Shahīh Bukhārī, hadist ke 77: “Perumpamaan hidayah dan ilmu yang merupakan bagian penutusanku adalah seperti hujan yang lebat yang turun mengenai tanah. Diantara tanah itu ada jenis yang dapat menyerap air sehingga dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Dan di antaranya ada tanah keras yang menampung air sehingga dapat diminum oleh manusia, memberi minum hewan ternak dan untuk menyiram tanaman. Dan yang lain ada permukaan tanah yang berbentuk lembah yang tidak dapat menahan air dan juga tidak dapat menumbuhkan tanaman. Adalah perumpamaan orang yang paham agama Allah dan dapat memanfaatkan sesuai dengan yang aku bawa lalu dia tahu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan (yang terakhir) ialah orang yang tidak terangkat derajatnya dan tidak menerima hidayah Allah yang aku bawa…”
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri. Dengan kata lain, hadirnya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirnya. Beliau membagi pencapaian dan pendefnisian ilmu kedalam dua bagian. Pertama, ilmu adalah sesuatu yang datang dari Allah dan diberikan kepada insan sebagai karunia-Nya. Kedua adalah sesuatu yang dicapai oleh jiwa yang aktif dan kreatif berdasarkan daya usaha akliahnya sendiri, yang telah melalui pengalaman, penyelidikan dan pengkajian. Defnisi ini mengindikasi dua cakupan pengertian; pertama yaitu masuknya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia dan kedua ialah sampainya jiwa manusia kepada objek ilmu melalui penelitian dan kajian[10].
Ada kalanya ilmu-ilmu itu membahayakan bagi penuntut ilmu karena yang menuntutnya jahil atau belum cukup dewasa akal dan kalbunya, meskipun pada hakikatnya ilmu itu berguna. Sekalipun seseorang itu pandai dan handal dalam suatu bidang ilmu pengetahuan, maka jikalau dia tidak mengenal diri sendiri, tiada mengamalkan agama dan tidak berakhlak mulia maka sia-sialah ilmunya[11].  Namun, seiring dengan berjalannya waktu umat Islam cenderung lebih memilih untuk meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat sekular, yang dianggap lebih maju dan ‘dewasa’ secara membabi buta, daripada berpijak kepada ilmu Islam yang tawhidi[12]. Hal ini, menurut Yusuf Qardhawi, disebabkan oleh hegemoni dan kolonialisme Barat terhadap negara-negara Islam yang berlangsung secara terus menerus[13]. Selain itu, dangkalnya pengetahuan umat Islam terhadap agamanya juga menjadi faktor lain yang tidak kalah merugikan[14]. Dua faktor terbesar ini menimbulkan kecenderungan sikap imitative dalam diri umat Islam yang pada akhirnya berdampak kepada hilangnya indentitas keislaman[15].
            Inilah masalah yang kemudian dicoba untuk diangkat oleh seorang ulama muslim kontemporer, Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Ia menghadirkan konsep ilmu yang berasaskan kepada worldview Islam yang tawhidi, sehingga konsep tersebut jelas berbeda dengan konsep-konsep yang datang dari Barat sekular[16]. Karena inti pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan social ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia[17]. Sehingga, Syed Muhammad Naquib Al-Attas memprakasai munculnya ide Islamisasi ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk  melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar dan diharapkan akan semakin bertambah keimanan seorang pencari ilmu. Islamisasi ilmu pengetahuan mempunyai tujuan mewujudkan kemajuan peradaban yang Islami dan masing-masing juga tidak menghendaki terpuruknya kondisi umat Islam di tengah-tengah akselerasi perkembangan IPTEK[18]. Syed Muhammad Naquib Al Attas  menawarkan dua opsi dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama, dengan  melakukan pemisahan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, dengan memasukkan konsep kunci Islam ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Islamisasi ilmu pengetahuan tidak cukup hanya menjadi sebuah kajian. Publikasi dari hasil kajian merupakan langkah dalam menyebarluaskan
Sebagai generasi emas muslim yang kelak akan menjadi seorang cendekiawan muslim maka harus menguasai IPTEK yang berlandasakan keimanan dan konsep ilmu yang berasaskan pada worldview Islam. Memasuki era digital ini, setiap muslim harus memiliki kompentensi sesuai bidang disiplin ilmunya masing-masing untuk menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk menjadikan umat Islam semakin taat kepada Allah. Adanya kemajuan teknologi saat ini justru bukan menjadi penghambat terhadap penghambaan seseorang pada Allah. Teknologi hanyalah sebagai alat untuk mencapai kemaslahatan umat dalam rangka menempatkan segala sesuatu pada tempat yang tepat (justice), yang mengarah kepada penyembahan kepada Allah. Seperti kemajuan teknologi dan sains pada masa Abbassiyah (750 M) dibawah pemerintahan raja Harun al-Rosyid dengan munculnya para ilmuwan muslim yang sangat gemilang dan berkontribusi besar bagi perkembangan sains dan teknologi. Seperti penemuan jam yang digunakan untuk pengingat waktu sholat, insiyur muslim yang merintis teknologi air untuk irigasi petani atau Abu al-Abbas al-Nabari dari Andalusia yang mengembangkan metode ilmiah untuk botani. Semua penemuan dalam bidang sains dan teknologi ini senantiasa bermuara pada kemudahan dalam beribadah pada Allah.
Pada puncak kejayaan masa Abbasiyah tercatat berhasil meletakkan dasar bagi eksistensi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat yang menjadi pendorong perkembangan sains dunia[19]. Teknologi jika tidak di tangan umat Islam, cenderung menjajah. Umat Islam tanpa teknologi cenderung terjajah. Diharapkan jika teknologi dikembangkan dan dikendalikan oleh umat Islam, akan membebaskan dunia dari penjajahan[20]. Sains yang Islami harus meliputi iman, kebaikan dan keadilan manusia, baik sebagai individu atau sosial[21]. Cendekiawan muslim senantiasa melakukan Islamisasi ilmu dengan berkarya melaui bidang ilmunya masing-masing dengan penguasaan teknologi yang baik di era digital. Sehingga, hasil karya ilmu sains dan teknologi cendekiawan muslim di era digital tidak hanya berhenti pada narasi penelitian tetapi juga aksi untuk dengan tujuan untuk kemalahatan umat manusia demi terbentuknya bangsa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafr
#CallForEssaySILATNAS2019
#ForsiHIMMPASIndonesia


[1] Data Perhitungan Proyeksi Penduduk Indonesia 2015, Bappenas.
[2]  Data UN Population  Prospect 2015-2015, Bappenas.
[3]Antonius Remigius Abi, Paradigma Membangun Generasi Emas Indonesia Tahun 2045. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017, 85.
[4] Visi Indonesia 2045, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2017.
[5] Gerd Leonhard, Futurist
[6] Makhmud Kuncahyo, Personality Improvement & Public Speaking Trainer Trustco Nusantara
[7] Irma Noviyani. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas dan  Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC). Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, Vol.1 Nomor 1, 2017
[8] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Khalif Muammar, (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010), 178.
[9] Lailah Alfi. Konsep Ilmu Menurut S.M.N. Al-Attas. Jurnal Tasfiyah Gontor, Vol. 2, No. 2, Agustus 2018, 195-209
[10] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995), 78.
[11] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin. (Insittut Antarbangsa Pemikiran dan Tamadun Islam, Kuala Lumpur, 2001) 
[12] Adnin Armas, Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox.  ISLAMIA: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, Vol 3, Nomor 2, (Jakarta: INSIST, 2007), 28.
[13] Yusuf Qardhawi, Al-Islām Kamā Nu’minū Bihi, (Mesir: Nahdhah li al-Thib’ah wa al-nasyr wa al-tawzi’, 1999), 10.
[14] Ghalib Ibn ‘Ali ‘Awajiy, Al-Madzāhib al-Fikriyah al-Mu’ās}irah, wa Dauruhā fī al-Mujtama’āt wa Mauqifu al-Muslim Minhā, (Jeddah: Maktab al-‘As}riyah al-Dzahabiyah, 2006), 683
[15]Alparslan Acikgenc, Islamic Science; Toward a Defnition, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996),100
[16]Lailah Alfi,. Konsep Ilmu Menurut S.M.N. Al-Attas. Jurnal Tasfiyah Gontor, Vol. 2, No. 2, Agustus 2018, 195-209
[17] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Terj. Hamid Fahmy Zarkasyi, (Bandung: Mizan, 2003), 114. 
[18] Irma Noviyani. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas dan  Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC). Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, Vol.1 Nomor 1, 2017
[19] Mochamad Muksin. Islam dan Perkembangan Sains & Teknologi (Studi Perkembangan Sains dan Teknologi Dinasti Abbasyiah). Jurnal Teknologi dan Manajemen Informatika Vol. 2, Nomor 4, Juni 2016
[20] Prof.Dr.Fahmi Amhar, Islam dan Revolusi Industri 4.0 Peneliti Badan Informasi Geospasial
[21] Yusuf Amier Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), 90

Rekomendasi Buku


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Arti Kebarokahan dalam Hidup?

Bismillah.. Sudah hampir 1 tahun berada di Bogor, kota hujan penuh keberkahan. Selayaknya di Jogja yang begitu banyak taman-taman surge (majelis ilmu), di Bogor pun cukup bertebaran taman-taman surge meskipun tidak sebanyak di Jogja. Memang, di Jogja setiap hari ada kajian dari waktu subuh hingga isya’ di berbagai masjid-masjid, kampong dan kampus. Maka tak heran jika ada teman yang mengatakan bahwa ‘Jogja itu surganya kajian’ .   Itulah mungkin salah satu dari kerinduan Jogja.. Salah satu majelis ilmu yang saya ikuti pada hari Sabtu, 21 September 2019 yakni kajian Ngariung Yuk yang ternyata udah batch 6. Kajian ini ternyata juga diadakan dari Bogor Raincake milik pasangan artis Shireen Sungkar dan Teuku Wisnu (a.k.a cinta fitri yang terwujud di dunia nyata). Pada Kajian Ngariung Yuk batch 6 ini mengundang seorang Ustadz ternama yakni Ust Oemar Mita di The Sahira Hotel, Bogor. Meskipun ada kuota tapi acara ini gratis. Hal ini cukup menginspirasi saya bahwa bisnis yang kemud

BAHAGIA: bukan tentang harta, tapi tentang rasa

          Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) didapuk sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan sebanyak 11,49% penduduk miskin pada 2022. Artinya, pengeluaran mereka berada di bawah garis kemiskinan Yogyakarta, yakni Rp551.342 per kapita/bulan. Sedangan Indeks Pembangunan Manusaia (IPM) di provinsi DIY tertinggi kedua nasional yakni sebesar 80,64 pada 2022. IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.Mari melihat satu data lagi yakni indeks kebahagiaan DIY sebesar 71,7 pada 2021, angka lebih besar dari rata-rata nasional yang sebesar 71,49. Indeks Kebahagiaan Indonesia merupakan indeks komposit yang dihitung secara tertimbang menggunakan dimensi (perasaan dan makna hidup) dan indikator dengan skala 0-100. Semakin tinggi nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan penduduk yang semakin bahagia.                       Data kemiskinan,

Ruh Langit Keluarga

  Ahad, 28 Mei 2023 [Catatan Singkat: Kelas Jadi Istri bersama Teh Febrianti Almeera] Bismillahirahmanirrahim.. Sesi ini beliau banyak menyampaikan terkait visi misi sebuah keluarga, bagaimana seharusnya menjadi istri yang sesuai dengan fitrah. Setiap keluarga itu isinya perjuangan, dengan perjuangannya masing-masing yang pastinya berbeda setiap keluarga. Visi keluarga : setiap muslim itu harusnya mempunyai visi yang sama yakni meraih ridha Allah supaya mendapatkan tiket masuk surga. Nah, baru misinya (langkah-langkah untuk mewujudkan visi) yang berbeda setiap keluarga. Misi keluarga : merupakan peleburan potensi suami dan istri menjadi potensi yang lebih besar dan harus mempunyai ruh langit . Misi ini datang dari Allah, dilakukan oleh suami yang dibantu oleh istri. Misi ini dipegang oleh suami, maka ketika kita memilih suami berarti kita juga sedang memilih nahkoda untuk melakukan perjalanan bahtera rumah tangga. Beliau juga menyampaikan terkait bagaimana cara kita menemuk